Hikmah Kejujuran Berumah Tangga

|

Waktu menunjukkan pukul 19.30 WIB yang menandakan agar bersiap-siap untuk pergi ke masjid secepatnya. Alunan suara sholawat yang menggema dari masjid itu menjadi pembuka dari kegiatan zikir malam itu. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap Jum’at Legi itu merupakan hajat pengajian yang tak bisa ditinggalkan jamma’ah masjid itu dan lingkungan masyarakat di sekitarnya seperti diriku ini. Banyak di antara mereka yang memperoleh manfaat dari kegiatan mulia itu, seperti bisa mendekatkan diri ke sang khalik dengan penuh keyakinan yang mantap dan ditambah dengan hikmah-hikmah pengajiannya tidak kalah pentingnya.
Ratibul Athas dan Ratibul Hadad adalah bagian inti dari kegiatan penganjian itu. Dipimpin seorang habib yang ternama di kotaku, kalimat-kalimat tauhid dan doa-doa yang bersumber dari Rasulullah SAW ini di dalam dua ratib tadi sangat membekas di hati bagi para jamma’ah pesertanya di malam itu.
Mauidhoh hasanah pun tiba, pembicara kali ini adalah seorang ustad yang sangat kondang di kotaku dan dia membawakan tema tentang kejujuran dalam harmonisasi hubungan suami istri, tema yang tepat sekali untuk para jamma’ah yang terdiri dari orang tua dan anak muda yang belum berkeluarga. Suasana yang tadinya sepi kini menjadi lebih riuh dan terasa begitu hidup, dikarenakan atmosfer sang ustad yang kocak tapi penuh makna yang mendalam. Dalam uraiannya, dia mengatakan bahwa rasul selalu mengajarkan kejujuran dan menjelaskan apa adanya, sehingga jangan heran jika Rasullah mendapatkan gelar al amin (orang dipercaya) sejak masih muda. Hubungannya dengan harmonisasi suami istri adalah prinsip keterbukaan atau kejujuran atau transparansi harus selalu ditanamkan dalam berumah tangga, sehingga tidak akan muncul kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan.
Salah satu yang saya ingat dalam ceramah saat itu ialah dialog suami istri yang berikut ini :
Suami : Bu..., pintar-pintar ya, kalau diberi amanat dalam menjaga duit.
Istri      : Ok, pak..... Asal Bapak jangan selingkuh saja kalau masalah duit, semuanya terjamin kok pak.
Suami : Beres bu, bapak suami yang jujur kok.
Istri : Janji lho pak, jangan coba-coba bohongi ibu. Oh ya pak, kebutuhan pokok harus secepatnya dipenuhi dalam minggu ini, saya harap bapak tidak mengeluarkan biaya macam-macam selain untuk kebutuhan itu.
Suami : Tenang bu, pasti saya usahakan.
Pada suatu ketika sang suami pulang kerja, di tengah jalan dia melihat se ekor burung cantik dan merdu suaranya dan itu merupakan burung satu-satunya. Tergodalah hatinya untuk membeli burung itu karena hobinya yang suka terhadap hewan peliharaan, walaupun harganya mahal yaitu Rp 500.000,- tetap saja dibelinya. Sesaat ia teringat pesan istrinya agar dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dalam minggu-minggu ini dan agar memperketat pengeluarannya, namun hal itu tetap saja diabaikannya.
Dan tak lama kemudian dia pulang ke rumah dengan membawa burung cantiknya tadi.
Istri : Pak, burungnya cakep abis, beli di mana nih, pasti mahal?
Suami : Di jalan Bu, murah kok hanya Rp 100.000,-. Wah sebenarnya ada banyak sih bu, tapi aku pilih satu saja.(Sambil takut dimarahi apabila sang istri tahu harga burung sebenarnya)
Istri : Wah untung ya dapat harga murah cantik lagi burungnya.
Suami : Iyah (sambil tersenyum-senyum).
Pagi harinya suaminya pergi mencari nafkah, mendengar suara burung yang merdu datanglah tetangga yang tertarik pada suara burung tadi. Maka tidak lama kemudian tetangga tadi langsung mengutarakan maksudnya untuk memiliki burung itu kepada sang istri tadi.
Tetangga : Bu, burungnya merdu banget suaranya, boleh gak kubeli seharga Rp 200.000,-. Jika ibu mau, aku bayar sekarang.  
Istri : (Tidak berpikir lama, karena memang sedang membutuhkan duit untuk keperluan keluarga dalam satu minggu ini, dan kebetulan ada yang menawar dengan harga tinggi, dan sang istri/ibu yakin bakal untung besar kalau dijual) “Boleh, ambil saja kalau mau, tunai ya jangan pakai hutang, he..he..”.
Tetangga : Iya donk, nih bu. Ikhlas ya bu.
Istri : Ikhlas dan ridho.
Tak lama beberapa jam kemudian sang suami pulang.
Dan yang terjadi adalah seperti ini :
Suami : Bu, kok burung kesayangannyaku gak ada. Kemana ya bu.
Istri : Kabar baik pak.
Suami : Kabar baik apa bu?
Istri : Burungmu tadi kujual dengan harga Rp 200.000,-, yang pasti untung dua kali lipat pak. Jadi cukuplah pak, untuk tambahan biaya belanja keluarga seminggu ini. Terus bapak kan masih bisa cari burung lainnya. Kemarin kan kata bapak masih banyak burung yang merdu. Ibu pintar kan, pak? He..he..he
Suami : Iya bu pintar (dengan penuh kekesalan dalam hati). ...........(Diam seribu bahasa, tidak bisa bicara sepatah kata pun, karena binatang kesayangannya telah pergi dibeli orang, dalam benak pikirannya dia merasa rugi banyak  atas burungnya yang telah dijual ke tentangganya, dan si suami tidak berani untuk berkata yang sebenarnya dan takut kebohongannya terbongkar, dikarenakan sebelumnya si suami sudah terikat komitmen untuk saling jujur dan terbuka kepada istrinya).
Pelajaran yang menarik di atas adalah tentang jujur pada diri sendiri dan pada istrinya adalah hal yang penting, tanpa harus ditutupi oleh kebohongan-kebohongan.
Meskipun ada hadits nabi yang berbunyi,  berkata Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha, "Aku tidak pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan (rukhshah pada apa yang diucapkan oleh manusia (berdusta) kecuali dalam tiga perkara, yakni: perang, mendamaikan perseteruan/perselisihan di antara manusia, dan ucapan suami kepada istrinya, atau sebaliknya" (HR. Bukhari-Muslim, dalam kitab Riyadhus Shalihin II), tapi bukan berarti semua ucapan suami atau istri bisa dianggap rukshah, namun yang terpenting adalah konteksnya yang tepat. Hal ini penting, karena kalau tidak hati-hati maka akan timbul kebohongan demi kebohongan ditutupi dengan kebohongan lain. Sebagai contoh konteks yang tepat adalah seorang pasien yang didiagnosa dokter bahwa usianya tidak lama lagi, dengan maksud untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya (kestabilan psikologinya) maka dokter tidak langsung menjelaskan penyakit sebenarnya kepada pasien, tapi mungkin hanya  dijelaskan kepada keluarganya saja, atau contoh lain untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa agar dapat ditemukan jalan keluar terbaik secepatnya, atau bisa juga jerih payah istri atas usahanya memberikan masakan terbaik bagi suaminya, yang padahal suaminya sendiri tidak menyukainya, dan masih banyak contoh lainnya.
Dan dalam konteknya yang lain kita harus jujur apa adanya dan memberikan solusi yang tepat. Misalnya mengajak sang istri ikut kursus masak agar dapat memberikan suguhan terbaik yang baik suaminya. Sehingga suami tidak akan mengatakan enak dan lezat terus bila kenyataannya tidak enak, dan membohongi dirinya sendiri terus menerus pula. Bisa juga suaminya bilang enak, tapi belum tentu bagi orang lain yang bisa saja jadi tamu makan malam atau siangnya.
Poin yang terpenting perlu diingat adalah lebih baik jujur atau benar adanya meskipun itu pahit, daripada disuguhi dengan manisnya kebohongan-kebohongan yang pada hakekatnya itu pahit bagi diri kita, karena suatu saat semua itu pasti ketahuan yang sebenarya. ***

0 komentar:

Posting Komentar